Senin, 24 Mei 2010

"AL Qur'anul Karim....Pedoman Hidup"


Disalalin kembali oleh : Bulkeri (Abi Zuhri)


AL Qur'anul Karim....Pedoman Hidup
langsung dengerin y, insyaallah berkah:
http://www.quranexplorer.com/quran/Default.aspx

Al-Qur’an bukanlah untuk disenandungkan saja dan tidak pula untuk dinikmati kandungan dan isinya oleh akal dan kecerdasan intelektualitas saja. Akan tetapi wajib diyakini, dipahami dan diamalkan semua kandungan dan isinya. Untuk itulah, mengamalkan Al-Qur’an adalah kewajiban agar Al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah, rahmah, syifa’ dan tadzkirah bagi kita.

langsung dengerin y, insyaallah berkah:
http://www.quranexplorer.com/quran/Default.aspx

Al-Qur’an bukanlah untuk disenandungkan saja dan tidak pula untuk dinikmati kandungan dan isinya oleh akal dan kecerdasan intelektualitas saja. Akan tetapi wajib diyakini, dipahami dan diamalkan semua kandungan dan isinya. Untuk itulah, mengamalkan Al-Qur’an adalah kewajiban agar Al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah, rahmah, syifa’ dan tadzkirah bagi kita.

Agar Al-Qur’an itu dapat diamalkan, maka kita harus memposisikan Al-Qur’an sebagai berikut :

1. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Buku pelajaran utama


(الْكِتَابُ) :

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا
كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (آل عمران :79)

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali-Imran : 79)

2. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Bacaan paling utama dan paling mulia

(الْقُرْآَنُ الْكَرِيمُ / الْعَظِيمُ ):
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (فاطر : 29)

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Fathir : 29)

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (العنكبزت : 45)

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut : 45)

3. Menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi utama dalam pembentukan pemikiran, intelektualitas dan karakter

(تَدَبَّرُ الْقُرْآَنَ):
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (النساء :82)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. Annisa’ : 82)

4. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Ruh (Spirit) hidup

(الرُّوحُ) :

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (الشورى : 52)

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura : 52)

5. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Cahaya kehidupan

(النُّورُ) :

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (النور :35)

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Annur : 35)

6. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Petunjuk hidup (The Way of Life)

(الْهُدَى) :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (البقرة : 2)

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah : 2)

7. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Peringatan

(تَذْكِرَةً) :

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (3)

Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah) (QS. Thaha : 2 – 3)

8. Merasakan Mukjizat Al-Qur’an :

8.1. Mukjizat kandungan dan isi Al-Qur’an
8.2. Mukjizat Bahasa Al-Qur’an
8.3. Mukjizat Scientific (ilmu pengetahuan) Al-Qur’an
8.4. Mukjizat Hukum dan perundang-undangan
8.5. Mukjizat pengobatan fisik dan psikis
8.6. Mukjizat sejarah
8.7. Mukjizat analisa dan Futuristik


Demikianlah khutbah ini, semoga Allah membantu dan menolong kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, agar kita merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Al-Qur’an dan mejadikan Al Qur’an sebagai dusturul hayah (sistem hidup).

Semoga Allah pilih kita menjadi orang-orang yang sukses dalam mewujudkan generasi Islam, generasi masa depan yang diharapkan. Semoga Allah berkenan menghimpunkan kita di syurga Firdaus yang paling tinggi bersama Rasul Saw, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin sebagaimana Allah himpunkan kita di tempat yang mulia ini. Allahumma amin…

9. بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم إنه تعالى جواد كريم ملك رؤوف رحيم إنه هو السميع العليم ......

~~~"Keindahan Rasulullah SAW"~~~

Disalin kembali oleh : Bulkeri (Abi Zuhri)

Seorang lelaki bertanya kepada Albarra’ bin Azib ra :
“Apakah wajah Rasul saw seperti pedang ?” (bukankah beliau banyak berperang, apakah wajahnya bengis bak penguasa kejam?), maka menjawablah Albarra’ bin Azib ra :
“Tidak.. tapi bahkan wajah beliau bagai Bulan Purnama..”, (kiasan tentang betapa lembutnya wajah beliau yang dipenuhi kasih sayang)
(Shahih Bukhari hadits no.3359, hadits serupa Shahih Ibn Hibban hadits no.6287).

Diriwayatkan oleh Jabir bin samurah ra : “wajah beliau saw bagaikan Matahari dan Bulan”
(Shahih Muslim hadits no.2344, hadits serupa pada Shahih Ibn Hibban hadits no.6297),
demikian pula riwayat Sayyidina Ali.kw, yang mengatakan : “seakan akan Matahari dan Bulan beredar di wajah beliau saw”. (Syamail Imam Tirmidzi), demikian pula diriwayatkan oleh Umar bin khattab ra bahwa “Rasul saw adalah manusia yang bibirnya paling indah”.

Al Imam Alhafidh Syeikh Abdurrahman Addeba’I mengumpulkan ciri ciri sang Nabi saw : “Beliau saw itu selalu dipayungi oleh awan dan diikuti oleh kabut tipis, hidung beliau saw lurus dan indah, Bibirnya bagaikan huruf Miim (kiasan bahwa bibir beliau tak terlalu lebar tak pula sempit dan sangat indah), Kedua alisnya bagaikan huruf Nuun, (kiasan bahwa alis beliau itu tebal dan sangat hitam dan bersambung antara kiri dan kanannya)”.

Dari Abi Jahiifah ra : “Para sahabat berebutan mengambil telapak tangan beliau dan mengusapkannya di wajah mereka, ketika kutaruh telapak tangan beliau saw diwajahku ternyata telapak tangan beliau saw lebih sejuk dari es dan lebih wangi dari misik”
(Shahih Bukhari hadits no.3360).

Berkata Anas ra : “Tak kutemukan sutra atau kain apapun yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah saw, dan tak kutemukan wewangian yang lebih wangi dari keringat dan tubuh Rasul saw”
(Shahih Bukhari hadits no.3368).

“Kami tak melihat suatu pemandangan yg lebih menakjubkan bagi kami selain Wajah Nabi saw”.
(Shahih Bukhari hadits no.649 dan Muslim hadits no.419)

“Ketika perang Uhud wajah Rasul saw terluka dan mengalirkan darah segar, maka putrinya yaitu Sayyidah Fathimah ra mengusap darah tersebut dan Sayyidina Ali kw memegangi beliau saw, namun ketika terlihat darah itu terus mengalir, maka diambillah tikar dan dibakar, maka debunya ditaburkan diluka itu, maka darahpun terhenti”.
(Shahih Bukhari hadits no.2753)
.
Dari anas bin malik ra : “Dan saat itu dirumah hanya aku, ibuku dan bibiku, lalu selepas shalat beliau berdoa untuk kami dengan kebaikan Dunia dan Akhirat, lalu Ibuku berkata : “doakan pelayanmu ini wahai Rasulullah..” (maksudnya Anas ra), maka Rasul saw mendoakanku dan akhir doanya adalah : “Wahai Allah Perbanyak Hartanya dan keturunannya dan berkahilah”
(Shahih Muslim hadits no.660).

“Dan beliau saw itu adalah manusia yg terindah wajahnya, dan terindah akhlaknya” (Shahih Bukhari hadits no.3356) .

“Dan beliau saw itu adalah manusia yg termulia dan manusia yg paling dermawan, dan manusia yang paling berani” saw
(Shahih Bukhari hadits no.5686).

Dari Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah.., bila kami memandang wajahmu maka terangkatlah hati kami dalam puncak kekhusyu’an, bila kami berpisah maka kami teringat keduniawan, dan mencium istri kami dan bercanda dengan anak anak kami”
(Musnad Ahmad Juz 2 hal.304, hadits no.8030 dan Tafsir Ibn katsir Juz 1 hal.407 dan Juz 4 hal.50).

siang dan malam seluruh Ummat ini ruku dan sujud, bermilyar wajah menyungkur sujud kehadirat Nya hingga akhir zaman, mereka mensucikan Nama Nya yang Maha Tunggal, merekalah yang selalu dalam naungan Rahmat dan keridhoan Nya, Sebagaimana sabda beliau saw : “Dijadikan kesenanganku adalah shalat”. Shalat merupakan Ibadah yang paling dicintai oleh beliau saw, dan “Shalat adalah Cahaya”, demikian sabda beliau saw pula mengenalkan Indahnya shalat, suatu ibadah yang diawali dengan Takbiratul Ihram yang membuka gerbang penghadapan dengan Rabbul ‘alamin, lalu lantunan kalimat-kalimat surat Alfatihah yang bila dibaca dengan khusyu maka setiap kalimat itu dijawab oleh Raja Alam Semesta, lalu lantunan kalimatullah itu menerangi seluruh alam sanubarinya, meruntuhkan dosa-dosanya, lalu ia ruku’, bertasbih kepada Nya, bertakbir, bertahmid, lalu bersujud dibawah Naungan Kelembutan dan Kasih Sayang Nya, alangkah indahnya ibadah yang satu ini, suatu ibadah yang terangkai dari hampir seluruh bentuk Ibadah, Wudhu, Niat Mulia, Doa, Alqur’an, Takbir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Istighfar, Ruku’, Sujud, khusyu, Tuma’ninah….., itulah shalat.., Ibadah yang paling sempurna.

Demikianlah ummat ini melakukannya siang dan malam untuk sumpah baktinya kepada Allah Pencipta Alam Semesta, Namun dalam Ibadah yang Multi Sempurna ini…, tak luput…., tak luput…, tak luput…., tak seorangpun melakukan shalat terkecuali diwajibkan Nya bersalam pada Muhammad saw…dan diwajibkan Nya bershalawat pada Muhammad saw…
“Salam Sejahtera atasmu wahai Nabi dan Rahmat Allah dan keberkahan Nya….”, kalimat ini merupakan kalimat yang diwajibkan Allah yang harus ada dalam Ibadah termulia ini..

Masih kah kita mengingkari kemuliaan Sang Nabi saw?

Diriwayatkan bahwa Abu Sa’id bin Ma’la ra sedang shalat dan ia mendengar panggilan Rasul saw memanggilnya, maka Abu Sa’id meneruskan shalatnya lalu mendatangi Rasul saw dan berkata : Aku tadi sedang shalat Wahai Rasulullah.., maka Rasul saw bersabda : “Apa yang menghalangimu dari mendatangi panggilanku?, bukankah Allah telah berfirman “WAHAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN DATANGILAH PANGGILAN ALLAH DAN RASUL NYA BILA IA MEMANGGIL KALIAN”.(Al Anfal 24).
(Shahih Bukhari hadits no.4204, 4370, 4426, 4720).

Dan bahwa mendatangi panggilan Rasul saw ketika sedang shalat tak membatalkan shalat, dan mendatangi panggilan beliau lebih mesti didahulukan dari meneruskan shalat, karena panggilan beliau adalah Panggilan Allah swt, perintah beliau saw adalah perintah Allah swt, dan ucapan beliau saw adalah wahyu Allah swt…

Masih kah kita mengingkari kemuliaan Sang Nabi saw?

Diriwayatkan pula disaat perang Hunain selesai, Rasul saw memberi pada Sofwan 100 ekor unta, lalu 100 ekor lagi dan 100 ekor lagi, berkata Sofwan : “Sungguh Ia (Rasul saw) adalah orang yang paling kubenci, namun ia tak henti hentinya memberiku sampai ia menjadi orang yang paling kucintai”
(Shahih Muslim hadits no.2313).

Alangkah penyantunnya Nabi kita ini, bukanlah kecintaan Sofwan karena pmberian harta, namun kebenciannya luntur menghadapi manusia mulia yang memberinya dan saat ia tak berterimakasih justru ia ditambah lagi.. dan lagi…, tidak pernah kita temukan seorang dermawan dimuka Bumi yang setelah ia memberi dan yang diberi tak berterimakasih malah ia menambahnya lagi dan lagi, dan sesekali bukanlah barang yang murah, karena harga seekor Unta hampir menyamai 40 ekor kambing, dan beliau memberikannya 100 ekor onta, dan Sofwan tak berterimakasih dan tetap membencinya, beliau menambahnya lagi 100 ekor unta, lalu menambah lagi 100 ekor unta, lunturlah Sofwan.. ia lebur.. tak ada lagi yang lebih dicintainya selain Muhammad saw..

Jadilah beliau saw ini idola para sahabat, dan dalam riwayat lain, Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya.
(Shahih Bukhari hadits no.469).

Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap sang Nabi saw, Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw shalat ditempat ini”
(Shahih Bukhari hadits no.480).

Alangkah besar penghormatan para sahabat pada tempat tempat yg disentuh Tubuh Rasulullah saw, Bahkan gunung Uhud mencintai beliau saw dan dicintai oleh beliau saw sebagaimana sabdanya saw : “Gunung Uhud ini mencintai kita dan kita mencintainya” (Shahih Bukhari hadits no.3854).

Betapa Indahnya Alam semesta ini semua beridolakan Muhammaa saw, mencintai Muhammad saw, Memuliakan Muhammad saw, tak lain karena Allah telah mengumumkannya, sebagaimana Sabda beliau saw : “Bila Allah mencintai seorang Hamba maka Allah berkata kepada Jibril as : WAHAI JIBRIL, AKU MENCINTAI FULAN MAKA CINTAILAH IA”,
maka berkatalah Jibril as menyeru kepada Alam Semesta :
“Wahai Penduduk Langit, Sungguh Allah telah mencintai Fulan, maka cintailah ia, maka diberikanlah padanya Kasih sayang dimuka Bumi, maka ia dicintai dibelahan Bumi”
(Shahih Bukhari hadits no.3037, 5693, 7047).

Dan kita memahami bahwa Pengumuman itu terus berkumandang mengumumkan orang-orang yang dicintai Allah, dan tentunya pengumuman itu bergema terluhur dan terdahsyat saat mengumumkan Nama Muhammad saw….!, Maka Beliau saw dicintai Gunung, dicintai batang korma, hewan, manusia, jin, malaikat, dan orang-orang mukmin.. Beruntunglah Jiwa orang orang yg mencintai Muhammad saw.

“SUNGGUH ALLAH DAN PARA MALAIKAT MELIMPAH
KAN SHALAWAT ATAS NABI (saw) WAHAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, BERSHALAWATLAH KALIAN KEPADANYA DAN BERSALAM LAH DENGAN SEMULIA MULIA SALAM” (QS Al Ahzab-56)


Semoga bermanfaat...

Silahkan SHARE Ke rekan rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat.


Judul Asli : Hadist tentang keindahan Rasulullah
Source : majelisrasulullah : Habib Munzir Al Musawwa
Shared By Catatan Catatan Islami Pages

"Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat"..

Disalin kembali oleh : Abi Zuhri


Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat

Kategori Akhlaq dan Nasehat, Tazkiyatun Nufus | 15-07-2008 | 10 Komentar
بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أما بعد

Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab,
“Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:

Ikhlas

Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)

***

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Apakah hukumnya orang yang menghina Nabi Muhammad dan Islam?

Disalin kembali oleh : Abi Zuhri

ORANG YANG MENGHINA NABI MUHAMMAD SAW

S : Apakah hukumnya orang yang menghina Nabi Muhammad dan Islam?

J : Orang yang menghina Nabi Muhammad dan Islam menjadi murtad. Murtad adalah seburuk-buruk jenis kufur dan yang paling berat hukumnya. Murtad bererti memutuskan keagamaan Islam dari seseorang. Ia boleh terjadi dengan perkataan, perbuatan, iktikad dan azam.

Perbuatan yang boleh membuat seseorang itu menjadi murtad seperti sujud kepada berhala atau kepada matahari. Sedang perkataan yang boleh membuat seseorang itu menjadi murtad adalah jika ia melafazkan kata-kata yang mempunyai maksud penghinaan kepada agama Islam sama ada dari kepercayaannya atau secara berungkal atau dengan memperkecilkan Islam. Selain dari perbuatan termasuk juga iktikad seperti iktikadnya bahawa dunia ini kekal atau Penciptanya tidak berkuasa, atau menolak kenabian seorang nabi daripada nabi-nabi yang diutus atau mendustakannya atau memaki nabi atau memperkecilkannya atau mempercayai adanya nabi selepas Nabi Muhammad saw. Begitu juga jika seseorang itu mengubah hukum Allah dengan menghalalkan yang haram seperti arak atau katanya zina itu halal atau menafikan sesuatu yang menjadi wajib tiap Muslim mengetahuinya dari hukum syarak atau menurut hukum ijmak seperti ianya menambah rakaatnya di dalam sembahyang atau ia mengaku nabi selepas Nabi Muhammad saw.

Berkaitan dengan hal ini seperti perkara Salman Rushdie di mana mengikut laporan dari bukunya "Ayat-ayat Syaitan" bahawa ia telah memperkecilkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad saw dan juga menghina isteri-isteri Nabi Muhammad saw. Perbuatannya itu adalah termasuk dari jenis yang membuat ianya menjadi murtad dan terkeluar dari agama Islam.

Adapun hukum orang yang murtad itu adalah ia disuruh bertaubat dan kembali kepada Islam. Jika ia enggan, dikenakan hukum bunuh.

"Wanita dalam pandangan Islam" (TALAK)...

Disalin kembali oleh : Abi Zuhri

Secara ringkas Islam telah mempersembahkan nasihat-nasihat kepada suami-isteri untuk menyelamatkan pernikahannya dari kehancuran. Maka, jika salah satu diantara keduanya menyakiti yang lain maka pihak yang lain harus mengikuti nasihat-nasihat ini agar dia bisa menyelamatkan ikatan suci ini. Jika dia gagal maka Islam membolehkan keduanya untuk berpisah dengan baik.


Wanita Dalam Pandangan Islam



dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi dan Masihi Antara Mitos dan Kebenaran
Diterjemahkan dari al-Mar`atu fil Islam wal Mar`aatu fil `Aqidati al-Yahudiah wal-Masiihiyah baina al-Usthurah wal Haqiqah
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim Dosen di Universitas Koiter - Kinjistoon - Ontario KANADA
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.
Editor: Sandi Purwa, Muhammad Nurman
Lay Outer: Khalid Imam, Muhammad Ilham


TALAK



Terdapat perbedaan-perbedaan yang jelas di antara ketiga agama (Islam, Yahudi dan Masihi) mengenai talak. Orang-orang Masihi menolak talak secara sempurna. Ini dijelaskan dalam Kitab Perjanjian Baru dari Kitab Al-Muqaddas pada perkataan yang dinisbatkan kepada al-Masiih (Isa as.):

"Dan saya berkata kepada kalian sesungguhnya orang yang mentalak isterinya kecuali karena suatu alasan perzinahan maka dia membuat isterinya tersebut seperti perempuan yang berzina. Dan barangsiapa yang menikahi perempuan yang tertalak maka dia berzina". (Matius 5: 32).

Akan tetapi hal ini tidak pernah terjadi walaupun sekali, karena hal ini membutuhkan akhlak yang sempurna dan ini tidak akan pernah tercapai. Karena ketika suami isteri gagal dalam membina rumah tangga dan mustahil untuk hidup bersama lagi, maka pengharaman talak tidak akan bermanfaat sedikitpun bagi keduanya. Maka tidak ada faidah memaksa keduanya untuk tetap bersatu kalau keduanya tidak mampu lagi untuk hidup bersama secara terus menerus dalam pernikahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwasanya masyarakat Masihi terpaksa membolehkan talak.

Adapun orang-orang Yahudi, mereka membolehkan talak walaupun tanpa sebab. Karena Perjanjian Lama dari Kitab Al-Muqaddas memperbolehkan bagi suami untuk mentalak isterinya hanya karena disebabkan dia tidak mencintainya.

"Jika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan menikahinya, kemudian jika dia (suami) tidak mendapatkan nikmat dalam pandangannya karena dia mendapati pada isterinya itu sedikit aib, maka dia menulis untuknya surat talak dan menyerahkan langsung kepada isterinya dan melepaskannya (mentalaknya) dari rumahnya. Dan ketika isterinya keluar dari rumahnya (suami yang mentalak), dan dia menjadi isteri lagi bagi laki-laki lain, kemudian jika dia membuat marah laki-laki lain tersebut dan dia menulis surat talak untuknya dan menyerahkannya kepada perempuan tersebut dan mentalaknya dari rumahnya. Atau jika meninggal laki-laki yang terakhir tersebut yang mengambilnya sebagai isteri, maka tidak boleh bagi suaminya yang pertama yang telah mentalaknya untuk kembali mengambilnya sebagai isteri setelah perempuan itu bernajis. Karena hal itu adalah kotoran di sisi Tuhan. Maka jangan kamu mengambil dosa di atas muka bumi yang Tuhanmu telah berikan kepadamu sebagai bagian". (Tatsniyaah 24: 1-4).

Akan tetapi, ulama Yahudi berbeda pendapat mengenai penafsiran kalimat (abgadhaha) dan (`aib). Terdapat dalam Kitab Talmuud pendapat-pendapat mereka yang berbeda-beda: "Menurut kelompok Syamaie, tidak berhak bagi laki-laki untuk mentalak isterinya kecuali jika dia fasik (berzina). Adapun kelompok Haliel, maka laki-laki boleh mentalak isterinya sebagaimana yang dia kehendaki sehingga walaupun dia hanya mendapati perempuan yang lebih cantik dari isterinya tersebut". (Talmuud Gittin 90 a-b). Dan Perjanjian Baru mengambil pendapat Syamaie. Sedangkan undang-undang Yahudi mengikuti pendapat dua pendeta Haliel dan `Aqieban, kemudian pendapat Haliel-lah yang dipakai dalam undang-undang Yahudi. 33 Dia membolehkan suami untuk mentalak isterinya walaupun tanpa sebab secara mutlak.

Perjanjian Lama tidak hanya membolehkan bagi suami untuk mentalak isterinya jika dia membencinya, bahkan dia memerintahkan untuk itu. "Sesungguhnya isteri yang jelek memberikan kehinaan kepada suaminya dan cemoohan bagi yang lain. Dan sesungguhnya sangat disayangkan bagi suami yang isterinya tidak mampu membahagiakannya. Sesungguhnya perempuan adalah sumber kesalahan dan dengan sebab dia (perempuan) kita semua akan mati. Jangan kau biarkan isteri yang jelek mengatakan apa yang dia kehendaki, jika dia tidak menerima keputusanmu maka talaklah dia dan kau terbebas darinya". (Ecclesiasticus 25:25).

Talmuud memberikan contoh-contoh perbuatan isteri yang menyebabkan suami mereka mentalaknya. "Jika dia (isteri) mengambil atau minum di jalan, Pendeta Maier mengatakan bahwasanya isteri tersebut wajib ditalak". (Talmuud Gittin 89 a). Dan Talmuud mewajibkan untuk mentalak perempuan yang mandul (yang tidak melahirkan anak-anak selama sepuluh tahun). Seorang pendeta mengatakan: "jika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, kemudian isterinya tidak melahirkan anak-anak selama sepuluh tahun maka talaklah dia". (Talmuud Yeb 64 a).

Akan tetapi bagi para isteri dalam undang-undang Yahudi, mereka tidak mempunyai hak untuk meminta talak jika mereka menginginkannya. Dan boleh bagi perempuan Yahudi untuk minta talak di pengadilan jika dia mengajukan sebab yang kuat. Diantara sebab yang memperbolehkan perempuan untuk minta talak: jika suaminya terkena penyakit organ tubuh atau penyakit kulit, atau jika suaminya tidak menunaikan kewajibannya sebagai suami, dan seterusnya. Maka pengadilan boleh menerima permintaan talaknya, akan tetapi pengadilan tidak mampu memutuskan bahwa dia tertalak. Karena suamilah satu-satunya yang mampu mengakhiri pernikahan dengan memberikan surat talak kepada isterinya. Dan boleh bagi pengadilan memberikan perlindungan terhadap sang isteri dengan memberikan hukuman kepada suami, kewajiban membayar denda, memenjarakannya atau melarangnya untuk masuk gereja agar dia mentalak isterinya.

Akan tetapi, jika suami menolak untuk mentalaknya boleh bagi dia untuk menjadikan isterinya Mu`allaq (tergantung tidak diceraikan) sepanjang umurnya. Dan mungkin juga bagi suami untuk meninggalkannya seperti itu, tidak menikah dan tidak tertalak. Dan suami boleh menikah dengan perempuan lain atau dia boleh melakukan hubungan yang tidak sah dan menghasilkan anak-anak (anak-anak tersebut dikategorikan sebagai anak-anak yang sah dan sesuai dengan undang-undang Yahudi) dan sang isteri tidak bisa menikah karena dia masih bersuami dan dia tidak mampu untuk hidup dengan lelaki manapun. Karena, jika dia melakukan hal tersebut dia akan termasuk sebagai perempuan penzina. Dan jika dia melahirkan anak-anak, mereka dikategorikan sebagai anak-anak yang tidak syar`i (tidak sah) selama sepuluh generasi. Dan perempuan yang seperti ini di namakan "yang terikat". 34 Terdapat di wilayah-wilayah Amerika sekarang dari 1000 sampai 1500 isteri Yahudi yang "terikat". Dan di Israel bilangan isteri-isteri tersebut mencapai 16000 isteri yang terikat. Dan suami-suami mendapatkan penghasilan sampai beribu-beribu Dolar dari isteri-isteri mereka agar para isteri tersebut tertalak. 35 Kemudian Islam datang untuk menghentikan hal tersebut yang terjadi diantara dua agama yaitu Yahudi dan Masihi. Karena pernikahan dalam Islam adalah ikatan suci yang tidak mungkin untuk dipisahkan kecuali dengan sebab-sebab yang kuat, maka wajib bagi suami-isteri untuk mencari dan mendapatkan solusi-solusi yang bisa menyelamatkan pernikahannya jika hampir terjadi kehancuran. Karena talak akan terjadi apabila di sana tidak terdapat solusi.

Ringkasnya, Islam membolehkan talak akan tetapi dia mencoba melarangnya atau mencegahnya dengan segala cara.

Islam memberikan kepada laki-laki hak untuk mentalak dan memberikan perempuan -berbeda dengan Yahudi- hak untuk menghentikan pernikahannya dengan cara khulu` (perceraian atas permintaan isteri dengan pemberian ganti rugi dari pihak isteri). 36 Jika seandainya suami mentalak isterinya, dia tidak berhak mengambil kembali hadiah apapun yang telah dia berikan kepada isterinya. Dan telah dijelaskan dalam al-Qur`an tentang pengharaman bagi seorang suami setelah mentalak untuk mengambil hadiah apapun yang telah dia berikan kepada isterinya bagaimanapun berharga dan mahalnya hadiah tersebut.

"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”. (QS. An-Nisaa: 20).

Akan tetapi, jika perempuan yang ingin menghentikan pernikahan maka dia boleh mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada suaminya. Pengembalian hadiah-hadiah disini dikategorikan sebagai pengganti secara adil untuk suami yang ingin menjaga pernikahannya, akan tetapi isterinya yang telah memilih untuk meninggalkannya. Hal ini telah disebutkan dalam al-Qur`an bahwasanya tidak berhak bagi suami untuk mengambil hadiah-hadiah yang telah dia berikan kepada isterinya kecuali jika isteri yang ingin menghentikan pernikahan. Allah Swt. berfirman:

"…Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah: 229).

Seorang perempuan datang menghadap kepada Rasulullah Saw., ia mengatakan bahwa dirinya ingin mengakhiri pernikahannya. Akan tetapi dia tidak mengadukan sedikitpun tentang pribadi suaminya dan akhlaknya. Masalahnya cuma satu, bahwasanya dia tidak mencintainya lagi atau tidak bisa hidup bersamanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"Apakah kamu telah kembalikan kepadanya hadiah-hadiahnya?”
Perempuan itu menjawab: ”Ya…!”
Rasulullah Saw. bersabda: "Terimalah (untuk suami) hadiah-hadiah tersebut dan talaklah dia…”. (HR. Bukhary).

Dan seorang isteri boleh meminta talak dengan sebab-sebab yang kuat, seperti: suami yang kejam atau ditinggalkan tanpa sebab, atau suami tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai suami dan seterusnya. Pada keadaan seperti ini pengadilan Islam memutuskan dengan jatuhnya talak. 37

Secara ringkas Islam telah memberikan kepada perempuan hak-hak yang tidak tertandingi untuknya: perempuan boleh mengakhiri pernikahan dengan khulu` (perceraian atas permintaan isteri dengan pemberian ganti rugi dari pihak isteri), atau meminta talak di depan pengadilan.

Perempuan muslimah tidak mungkin dibelenggu selama-selamanya. Hak-hak inilah yang menjadikan isteri-isteri orang Yahudi ketika Islam muncul, mereka meminta talak dari suami-suami mereka melalui pengadilan Islam. Akan tetapi para pendeta Yahudi menolak talak ini dan memberikan sebagian hak-hak kepada perempuan agar mereka dapat mencegah isteri-isteri tersebut untuk berlindung kepada pengadilan- pengadilan Islam.

Akan tetapi isteri-isteri Yahudi yang hidup dalam masyarakat Masihi tidak mendapatkan hak-hak ini, maka undang-undang Romania (yang dipraktekkan di sana) tidak pernah lebih bagus keadaannya dari undang-undang Yahudi. 38

Sekarang mari kita perhatikan Islam dan melihat bagaimana dia tidak menyetujui terjadinya talak. Rasulullah Saw. bersabda kepada orang-orang mukmin:

"Sesuatu yang halal yang dibenci oleh Allah ialah talak…” (HR. Abu Daud).

Maka seorang suami tidak berhak mentalak isterinya hanya karena disebabkan dia tidak menyukainya. Oleh karena itu, al-Qur`an memerintahkan suami untuk bergaul dengan isterinya dengan bagus sehingga walupun dia tidak menyukainya,

Allah Swt. berfirman: "…Dan bergaullah dengan mereka secara baik, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-Nisaa: 19).

Dan Rasulullah Saw. bersabda:

"Tidak dipisahkan suami-isteri, jika suaminya membencinya dengan satu akhlaknya karena mungkin dia akan suka darinya akhlaknya yang lain". (HR. Muslim).

Kemudian Rasulullah Saw. telah menguatkan bahwasanya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling bagus akhlaknya, beliau bersabda:

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang bagus akhlaknya…” (HR. Tirmidzi).

Maka Islam adalah agama praktek dan memantau bahwasanya di sana terdapat keadaan-keadaan yang mustahil pada keadaan-keadaan tersebut untuk memperbaiki pernikahan, pada keadaan seperti ini tidak akan bermanfaat seorang suami memperbaiki hubungan pernikahannya dengan isterinya. Karena hal tersebut tidak akan berfaidah. Oleh karena itu al-Qur`an memberikan nasihat-nasihat untuk suami-isteri, ketika salah satu diantara keduanya menyakiti yang lain, maka al-Qur`an memberikan suami empat nasihat yang harus dia ikuti, jika isterinya buruk perlakuannya terhadapnya:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". Sebab itu maka wanita yang solehah ialah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisaa: 34-35).


Maka wajib bagi suami untuk mengikuti tiga nasihat yang pertama, jika gagal maka dia harus meminta pertolongan dari pihak keluarga. Dan sesungguhnya sangat jelas pada ayat-ayat ini bahwasanya seorang suami tidak boleh langsung memukul kecuali jika isterinya Nusyuz (durhaka kepada suaminya).

Dan karena terpaksa, diharapkan dengan hal itu pernikahan akan selamat. Dan jika suami telah berhasil, maka dia tidak boleh menyakiti isterinya setelah itu. Dan kalau dia tidak berhasil maka dia tidak berhak untuk memukul isterinya yang kedua kalinya. Akan tetapi dia wajib untuk meminta hakam dari pihak keluarga isteri dan dari pihak dia. (Adapun pukulan tersebut harus yang tidak melukai perempuan dan tidak pada tempat-tempat yang sensitif bagi perempuan seperti wajah).

Rasulullah Saw. telah memerintahkan laki-laki muslim pada Khutbah al-Wada` agar mereka tidak mengambil tindakan-tindakan ini kecuali karena darurat, seperti jika isteri berbuat hal-hal yang faahisyah (hal-hal yang jelek dari perkataan atau perbuatan selain zina). Apabila sampai pada keadaan seperti ini, hukuman yang diberikan kepada isteri harus yang ringan.

Apabila isteri berhenti dari perbuatannya tersebut, maka suami tidak berhak menyakitinya untuk yang kedua kalinya. Rasulullah Saw. bersabda:

"Ketahuilah, saling berwasiatlah kalian tentang perempuan dengan baik, karena sesungguhnya mereka itu adalah tawanan di sisi kalian, kalian tidak memiliki dari mereka sedikitpun kecuali hal itu, kecuali jika mereka berbuat hal-hal yang buruk. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka pisah tempat tidurlah dari mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai atau menyakiti. Jika mereka mentaati kalian. Maka janganlah kalian mencari-cari bagi mereka suatu jalan…” (HR. Tirmidzi).

Rasulullah Saw. melarang suami untuk memukul isterinya tanpa sebab, ketika sebagian isteri mengadu kepada Rasulullah Saw. bahwasanya suami-suami mereka telah memukul mereka, Rasullah Saw bersabda:

"Sungguh telah berkeliling (datang) kepada keluarga Muhammad isteri-isteri, yang mereka banyak mengadukan suami mereka, mereka (suami-suami) itu bukan pilihan kalian…” (HR. Abu Daud).

Dan sabdanya lagi: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang baik terhadap keluarganya, dan saya sebaik-baiknya manusia bagi keluargaku…” (HR. Tirmidzi).

Rasulullah Saw. telah menasihati perempuan yang bernama Fatimah binti Qays agar tidak menikah dengan laki-laki yang dikenal sebagai seseorang yang suka memukul perempuan. Hal ini diriwayatkan oleh sayyidah Fatimah, ia berkata:

"Sesungguhnya Mu`awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jaham telah meminangku?…Lalu Rasulullah Saw. bersabda: "Adapun Abu jaham, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari punggungnya, dan adapun Mu`awiyah adalah orang fakir tidak ada hartanya…” (HR. Muslim).


Sedangkan Talmuud telah mengizinkan memukul isteri untuk mendidiknya. 39 Dan bukan termasuk hal yang darurat jika perempuan itu fasik baru dia dipukul. Maka boleh memukulnya hanya karena disebabkan dia menolak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Sebagaimana bahwasanya suami tidak hanya mempergunakan pukulan yang ringan bahkan suami boleh mencambuknya atau melarangnya untuk makan. 40

Al-Qur`an menerangkan ketika buruknya keadaan akhlak suami: "Dan jika seorang perempuan khawatir akan Nusyuz (meninggalkan kewajiban bersuami-isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami) atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa dari keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari Nusyuz dan sikap tak acuh). Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisaa: 128).

Pada keadaan seperti ini, isteri dinasihati untuk memperbaiki pernikahannya (sama adanya keluarga ikut campur atau tidak). Dan secara jelas al-Qur`an tidak menasihati isteri untuk pisah ranjang atau memukul suaminya untuk menjauhi tindakan keras dari suami jika isteri melakukan hal tersebut. Karena hal ini akan menyebabkan lebih hancurnya hubungan suami-isteri di antara keduanya. Dan sebagaian ulama-ulama muslim memberikan ide agar perempuan meminta peran pengadilan pada hal seperti ini sebagai wakil dari isteri, dan juga agar suami diberikan peringatan oleh pengadilan terlebih dahulu. Kemudian pengadilan memutuskan agar isteri pisah ranjang dengan suaminya, dan yang terakhir pengadilan memutuskan agar suami diberikan sanksi (pukulan). 41

Secara ringkas Islam telah mempersembahkan nasihat-nasihat kepada suami-isteri untuk menyelamatkan pernikahannya dari kehancuran. Maka, jika salah satu diantara keduanya menyakiti yang lain maka pihak yang lain harus mengikuti nasihat-nasihat ini agar dia bisa menyelamatkan ikatan suci ini. Jika dia gagal maka Islam membolehkan keduanya untuk berpisah dengan baik.

Catatan kaki:

33. Epstein, op. cit., p. 196.
34. Swidler, op. cit., pp. 162-163.
35. The Toronto Star, Apr. 8, 1995.
36. Sabiq, op. cit., pp. 318-329. See also Muhammad al Ghazali, Qadaya al Mar`aa bin al Taqaleed al Rakida wal Wafida (Cairo: Dar al Shorooq, 4th edition, 1992) pp. 178-180.
37. Ibid., pp. 313-318.
38. David W. Amram, The Jewish Law of Divorce According to Bible and Talmuud (Philadelphia: Edward Stern & CO., Inc., 1896) pp. 125-126.
39. Epstein, op. cit., p. 219.
40. Ibid, pp 156-157.
41. Muhammada Abu Zahra, Usbu al Fiqh al Islami (Cairo: al Majlis al A`la li Ri`ayat al Funun, 1963) p.


(¯`•¸·´¯)Ketika Agama Telah Mengharamkan (¯`·¸•´¯)

Disalin kembali oleh : Abi Zuhri

Karena kita masih sering melihat di tengah-tengah kaum muslimin zaman ini, ada orang yang ketika dijelaskan kepadanya hal-hal yang dilarang oleh agama, dengan congkaknya ia berkata: ‘Sedikit-sedikit koq haram!‘.

Ketika Agama Telah Mengharamkan


Posted: 22 May 2010 10:00 PM PDT

Islam yang dibawa oleh Al Musthafa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Ta’ala berfirman,

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Secara bahasa,

الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ

rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab).

Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi dapat kita katakan bahwa datangnya Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk.

Kasih sayang tersebut tersurat dan tersirat dalam seluruh ajaran Islam, baik yang berupa larangan maupun perintah. Namun, benarlah firman Allah Ta’ala,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Hanya sedikit hamba-Ku yang bersyukur” (QS. Saba’: 13)

Karena kita masih sering melihat di tengah-tengah kaum muslimin zaman ini, ada orang yang ketika dijelaskan kepadanya hal-hal yang dilarang oleh agama, dengan congkaknya ia berkata: ‘Sedikit-sedikit koq haram!‘.

Padahal larangan agama adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Yang Haram Itu Berbahaya dan Merugikan

Salah satu konsekuensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah, setiap ajaran Islam mengajak kepada perkara yang baik bagi manusia dan melarang perkara yang buruk bagi manusia. Sebagaimana diungkapkan dalam kaidah fiqhiyyah:

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan”


Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya”[1].


Dan tidak diragukan lagi bahwa setiap makhluk dan benda di alam ini pasti memiliki manfaat dan kebaikan meski hanya sedikit. Benda yang paling hina di dunia ini pun masih mengandung manfaat walau kecil sekali. Jika semua hal yang memiliki kebaikan itu dihalalkan niscaya semua hal di dunia ini akan halal dan tidak ada yang haram. Oleh karena itulah Islam melarang segala sesuatu yang keburukannya lebih dominan meski ia memiliki sedikit kebaikan atau manfaat. Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”” (QS. Al Baqarah: 219)

Terkadang seseorang enggan meninggalkan apa yang telah diharamkan oleh agama karena menganggap hal tersebut bermanfaat baginya. Seseorang enggan meninggalkan korupsi karena berjudi membuatnya mendapat uang, seseorang enggan meninggalkan daging babi karena rasanya enak, seseorang enggan meninggalkan musik karena membuat hatinya terhibur, seseorang enggan meninggalkan rokok karena membuat pikirannya plong, dan seterusnya. Lihatlah bagaimana para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in, bersikap terhadap larangan agama, mereka berkata,


نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 4027)

Apalah artinya sedikit mengorbankan manfaat duniawi demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya? Apalah artinya merelakan sedikit keuntungan duniawi untuk menjunjung aturan agama? Apalah artinya sedikit melewatkan kemudahan hidup di dunia, untuk menjadi seorang hamba yang setia dan taat? Apalah artinya sedikit bagian dari dunia yang fana ini untuk mendapatkan dunia yang lebih kekal?


وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’laa: 17)

Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap aturan agama tidak hanya mendatangkan kerugian di akhirat, bahkan juga menjadi sebab datangnya bencana di dunia. Dan ini jelas sebuah kerugian. Allah Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaknya orang yang menentang ajaran Rasulullah itu takut, akan datangnya musibah atau adzab besar yang menimpa mereka” (QS. An Nuur: 63)

Oleh karena itu, bagi orang-orang yang hendak melanggar larangan agama, hendaknya lebih bijak menimbang untung-rugi bagi dirinya.

Yang Haram Lebih Sedikit Dari Yang Halal

Orang yang berkata: ‘sedikit-sedikit koq haram‘ tidak menyadari betapa Allah Ta’ala menghalalkan jauh lebih banyak hal baginya dari pada yang haram. Misalnya, makanan yang halal jauh lebih banyak dari pada yang haram. Allah Ta’ala tidak membatasi makanan halal dengan menyebutkan jenis-jenisnya, sedangkan pada makanan yang haram Allah memberikan batasan dengan menyebutkan jenis-jenisnya. Artinya, seluruh makanan yang ada di bumi itu halal kecuali beberapa jenis saja. Allah Ta’ala berfirman, menghalalkan makanan dan minuman secara umum,


كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِي

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al A’araf: 31)

Lalu Allah Ta’ala berfirman menyebutkan beberapa jenis saja Ia diharamkan,

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al An’am: 119)

Dan beberapa jenis lagi dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini para ulama menarik sebauh kaidah fiqih:

الأصل في العبادات الحظر, و في العادات الإباحة

“Hukum asal ibadah adalah terlarang, hukum asal ‘adah adalah boleh”

‘Adah adalah semua perkara non-ibadah, misalnya makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, alat-alat, dan lainnya. Semuanya halal dan boleh selama tidak diketahui ada dalil yang mengharamkannya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Semua perkara ‘adah baik berupa makanan, minuman, pakaian, kegiatan-kegiatan non-ibadah, mu’amalah, pekerjaan, hukum asalnya mubah dan halal. Orang yang mengharam perkara ‘adah, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan, ia adalah mubtadi‘”[2]


Jika demikian kita ketahui betapa banyak hal yang hukumnya mubah dan halal. Sungguh kalau kita mau menghitung hal-hal yang dihalalkan oleh Allah tidak akan terhitung banyaknya,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Jika engkau menghitung nikmat Allah engkau tidak akan sanggup” (QS. Ibrahim: 34)

Dari nikmat yang tidak terhingga banyaknya ini, mengapa ketika Allah melarang sedikit saja kita masih merasa berat meninggalkannya??

Setiap Orang Mampu Meninggalkan Yang Haram

Allah Ta’ala menurunkan Islam sebagai agama yang mudah dilaksanakan oleh manusia. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)

Sebagian orang salah paham terhadap hadits ini sehingga berkata: “Bagi saya shalat 5 kali sehari itu susah, karena agama itu mudah maka tidak shalat tidak mengapa”. Sehingga dengan alasan ini banyak orang menerjang larangan syariat dengan alasan sulit meninggalkannya. Dengan kata lain, mereka memaknai ‘mudah’ dan ’susah’ sesuai selera masing-masing. Apa yang menurutnya ’susah’ ia tinggalkan walau syariat memerintahkannya, apa yang menurutnya ‘mudah’ ia kerjakan walau agama melarangnya.


Tentu tidak demikian maksud hadits ini. Cukuplah firman Allah Ta’ala menafsirkan hadits yang mulia ini:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)

Ayat ini tegas menyatakan bahwa setiap ajaran agama yang diturunkan oleh Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya sudah sesuai dengan kemampuan manusia untuk mengerjakannya. Dengan kata lain, setiap ajaran agama itu sudah mudah dan mampu dilaksanakan oleh manusia secara umum.


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya…. semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” [3]

Jadi, Anda merasa berat meninggalkan hal yang haram? Yakinlah bahwa sebenarnya Anda mampu.

Sami’na Wa Atha’na



Jika atasan anda, atau orang yang anda hormati melarang anda terhadap sesuatu, tentu anda pun akan mematuhinya bukan? Maka bagaimana lagi jika larangan itu datang dari Dzat yang menciptakan anda, memberikan nikmat berlimpah, menghembuskan kehidupan pada diri anda, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dzat Yang Menguasai Hari Pembalasan kelak, tentu lebih layak kita mematuhinya bukan?


Demikianlah sikap seorang hamba Allah yang sejati. Sebagaimana dicirikan sendiri oleh Allah Ta’ala:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)

Jadi, ketika agama telah mengharamkan sesuatu, akan taatkah Anda?

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Lakukan 32 hal ini pada orang tua anda

Disalin kembali oleh : Abi Zuhri

Allah Ta?ala berfirman: ?Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo?a: ?Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.?
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.?
(Surat 46 Al-Ahqaaf (Bukit-Bukit Pasir) Ayat 15-16)

Jika ingin berhasil di dunia dan di akhirat, maka kerjakanlah beberapa pesan sebagai berikut:

1. Berbicaralah kepada kedua orangtuamu dengan sopan santun, jangan mengucapkan “ah” kepada mereka, jangan hardik mereka dan berkatalah kepada mereka de-ngan ucapan yang baik.

2. Ta’atilah selalu kedua orangtuamu selama tidak dalam maksiat, karena tidak ada ketaatan pada makhluk yang bermaksiat kepada Allah.

3. Berlemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, jangan bermuka masam di depannya, dan janganlah memelototi mereka dengan marah.

4. Jaga nama baik, kehormatan dan harta benda kedua orangtua. Dan janganlah mengambil sesuatu pun tanpa seizin keduanya.

5. Lakukanlah hal-hal yang meringankan meski tanpa perintah mereka. Seperti membantu pekerjaan mereka, membelikan beberapa keperluan mereka dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.

6. Musyawarahkan segala pekerjaanmu dengan orangtua dan mintalah maaf kepada mereka jika terpaksa kamu berselisih pendapat.

7. Bersegeralah memenuhi panggilan mereka dengan wajah berseri-seri sambil berkata, “Ada apa, Ibu!” atau “Ada apa, Ayah!”

8. Hormatilah kawan dan sanak kerabat mereka ketika mereka masih hidup dan sesudah mati.

9. Jangan membantah mereka dan jangan pula menyalahkan mereka, tapi usahakan dengan sopan kamu dapat menjelaskan yang benar.

10. Jangan membantah perintah mereka, jangan mengeraskan suaramu kepada mereka. Dengarkanlah pembicaraan mereka, bersopan santunlah terhadap mereka, dan jangan mengganggu saudaramu untuk menghormati kedua orangtuamu.

11. Bangunlah jika kedua orangtuamu masuk ke tempatmu dan ciumlah kepala mereka.

12. Bantulah ibumu di rumah dan jangan terlambat membantu ayahmu di dalam pekerjaannya.

13. Jangan pergi jika mereka belum memberi izin, meski untuk urusan penting, jika terpaksa harus pergi maka mintalah maaf kepada keduanya dan jangan sampai memutuskan surat menyurat dengan mereka.

14. Jangan masuk ke tempat mereka kecuali setelah mendapat izin terutama pada waktu tidur dan istirahat mere-ka.

15. Apabila tergoda untuk merokok, maka jangan merokok di depan mereka.

16. Jangan makan sebelum mereka dan jangan mencela mereka jika berbuat sesuatu yang tidak kamu sukai.

17. Jangan utamakan isterimu atau anakmu atas mereka. Mintalah restu dan ridha mereka sebelum melakukan sesuatu, karena ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan mereka.

18. Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka dan jangan menyelonjorkan kedua kakimu dengan congkak di depan mereka.

19. Jangan congkak terhadap nasib ayahmu, meski engkau seorang pejabat tinggi, dan usahakan tidak pernah meng-ingkari kebaikan mereka atau menyakiti mereka, meski hanya satu kata.

20. Jangan kikir menginfakkan harta benda kepada mereka sampai mereka mengadu padamu, itu merupakan kehinaan bagimu. Dan itu akan kamu dapatkan balasannya dari anak-anakmu. Apa yang kamu perbuat akan menda-pat balasannya.

21. Perbanyaklah melakukan kunjungan kepada kedua orangtua dan memberi hadiah, sampaikan terima kasih atas pendidikan dan jerih payah keduanya, dan ambillah pelajaran dari anak-anakmu yaitu engkau merasakan be-ratnya mendidik mereka.

22. Orang yang paling berhak mendapat penghormatan adalah ibumu, kemudian ayahmu. Ketahuilah bahwa Surga berada di bawah telapak kaki ibu.

23. Usahakan untuk tidak menyakiti kedua orangtua dan menjadikan mereka marah sehingga kamu merana di dunia dan akhirat, kelak anak-anakmu akan memperlakukan kamu sebagaimana kamu memperlakukan kedua orang-tuamu.

24. Jika meminta sesuatu dari kedua orangtuamu maka berlemah lembutlah, berterima kasihlah atas pemberian mereka, maafkanlah mereka jika menolak permintaanmu, dan jangan terlalu banyak meminta agar tidak menggang-gu mereka.

25. Jika kamu mampu mencari rizki maka bekerjalah dan bantulah kedua orangtuamu.

26. Kedua orangtuamu mempunyai hak atas kamu, dan isterimu mempunyai hak atas kamu, maka berilah hak mereka. Jika keduanya berselisih usahakan kamu mem-pertemukan mereka dan berilah masing-masing hadiah secara diam-diam.

27. Jika kedua orangtuamu bertengkar dengan isterimu, maka bertindaklah bijaksana, dan berilah pengertian kepada isterimu bahwa kamu berpihak padanya jika ia benar, hanya kamu terpaksa harus mendapatkan ridha kedua orangtua.

28. Jika kamu berselisih dengan kedua orangtua tentang perkawinan dan thalak maka kembalikan pada hukum Islam, karena hal itu merupakan penolong yang paling baik.

29. Do’a orangtua untuk kebaikan dan kejelekan diterima Allah, maka hati-hatilah terhadap do’a mereka untuk kejelekan.

30. Bersopan santunlah dengan orang lain, karena barang-siapa mencela orang lain maka orang itu akan mencaci-nya. Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam bersabda: (( مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ ))

31. Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orangtuanya; ia mencaci orang lain maka orang itu akan mencaci ayahnya, ia mencaci ibu orang lain maka orang itu akan mencaci ibunya.”

32. Kunjungilah kedua orangtuamu ketika masih hidup dan sesudah matinya, bersedekahlah atas nama mereka dan perbanyaklah berdo’a untuk mereka, misalnya dengan do’a: (( رَبِّ اغْفِرْلِى وَلِوَالِدَيَّ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا ))